Kamis, 13 Oktober 2011

Catatan Pulau Galang


riau-kepulauan.jpgNama Pulau Galang hanya pernah saya dengar dari sekelebatan berita-berita di waktu dahulu. Yang saya ketahui saat itu adalah bahwa pulau itu adalah tempat pengungsi Vietnam. Kapan pulau itu akhirnya sudah tidak dipakai lagi untuk menampung pengungsi, saya tidak pernah mencermati beritanya lagi. Tak disangka saya akhirnya sempat mengunjunginya sekian lama setelah pengungsi terakhir meninggalkan pulau Galang (tepatnya sejak 1996). Sisa-sisa kamp pengungsi itu tetap berada pada tempatnya, sebagian diperbaiki untuk menjadi monumen untuk mengenang masa lalu para pengungsi Vietnam.
Perjalanan ke pulau Galang dimulai dengan sarapan pagi di Batam. Mirip di Balikpapan, pagi hari di Batam juga diwarnai dengan deretan warung kopi yang penuh membludak. Saya memilih menu yang asing di telinga, mie lendir. Sesudah memanggil berulang-ulang karena menu itu sangat populer, akhirnya pesanan saya tiba juga. Entah mengapa disebut mie lendir, padahal isinya adalah mie rebus yang disiram saus kacang milik gado-gado. Ada sebutir telur rebus juga di dalamnya. Untuk minum, teman saya meminta teh obeng kepada pelayang. Sedangkan saya: teh es. Si pelayan senyum-senyum sambil bilang kalau teh es sama saja dengan teh obeng
.
jembatan-1.jpgSesudah makan pagi, perjalanan dimulai ke arah selatan. Pulau Galang kini bersama Pulau Batam dan Pulau Rempang menjadi satu kesatuan otorita yang disebut Barelang (Batam-Rempang-Galang). Sesudah melewati daerah Muka Kuning di mana terdapat kawasan industri elektronika saya melewati daerah reservoir air Batam. Suasana sejuk sejenak menerpa pagi yang cerah dan panas. Dari kejauhan sudah terlihat tiang jembatan pertama. Keseluruhan kawasan Barelang dihubungkan oleh 5 jembatan antar pulau dan yang pertama inilah yang memiliki rentang terpanjang. Dibangun pada jaman Habibie menjadi Ketua Otorita Batam, jembatan ini memang sungguh membentang megah antara Pulau Batam dan Pulau Tonton, sebuah pulau kecil sebelum mencapai Pulau Rempang. Berhenti sejenak, pemandangannya memang indah. Langit biru
cerah, laut yang juga biru dengan deretan kepulauan Riau di kejauhan jadi pemandangan yang menyenangkan.

barelang.jpg 
Perjalanan kembali berlanjut dengan menyeberang ke Pulau Rempang dan kemudian Pulau Galang. Kondisi jalan yang sempurna membuat perjalanan hampir 70 km ditempuh dengan cepat, hanya sekitar 45 menit tibalah di sebuah simpang tiga yang diberi papan penunjuk menuju arah Galang Refugee Camp Memorial. Kami memasuki arah jalan ditunjuk, lebih kecil dan beraspal lepas dan diawali dengan pos retribusi. Memasuki beberapa ratus meter ke dalam, kami disambut sebuah papan penunjuk menunjukkan kata pagoda. Kami mampir ke sebuah pagoda Dewi Kwan Im, yang dalam Bahasa Vietnam disebut Quan Am Tu. Di samping pagoda terdapat beberapa deretan foto2 lama, ada peristiwa pemberkatan pernikahan pengungsi, ibadat Buddhis oleh para pengungsi dan reuni pengungsi kembali ke Galang tahun 2005 yang lalu.

 quan-am-tu.jpg
Usai dari pagoda, kami semakin memasuki wilayah pengungsi. Tiba-tiba saya melihat sebuah tugu kecil dengan nama Humanity Statue. Dari penjelasan di dekat patung, tertulis bahwa patung itu didirikan oleh para pengungsi untuk mengingat musibah yang menimpa seorang wanita bernama Tinh Nhan yang diperkosa oleh sesama pengungsi di lokasi di mana patung itu berada kini. Tinh Nhan bunuh diri tidak lama sesudahnya.


ngha-trang.jpgdedicated.jpgTidak jauh dari patung kemanusiaan itu di sebelah kiri terdapat areal pemakaman Ngha Trang. Terdapat 503 makam yang diperuntukkan baik untuk yang Buddhis dan Kristen. Di pintu gerbang terdapat sebuah tugu bertuliskan ”dedicated to the people who died in the sea on the way to freedom.” Banyak sekali rekan mereka yang tidak pernah mencapai tujuannya. Mereka yang kehilangan segala-galanya di tanah air mereka karena perang Vietnam, menjual harta terakhir agar bisa menaiki kapal kayu kecil terkadang bersama lebih seratus orang sekaligus, bertaruh pada kemungkinan terkecil yang ada. Banyak di antara mereka dirompak, diperkosa dan dibunuh bajak laut di Laut Cina Selatan. Sebagian lainnya terombang-ambing karena badai, kehabisan bahan bakar dan karam begitu saja. Mereka yang berhasil selamat pun menghabiskan waktu hingga  beberapa bulan di laut lepas, bertahan sementara ada rekan seperjalanan yang sakit atau meninggal kelaparan. Ada beberapa bekas perahu pengungsi yang diangkat ke darat sebagai kenangan perjuangan untuk hidup yang lebih baik.

perahu.jpgSebagian besar kamp pengungsi ini memang direstorasi kembali seperti bekas penjara, rumah sakit milik UNHCR dan perahu, bahkan bekas kantor UNHCR dijadikan museum kecil, tapi sayangnya barak-barak para pengungsi ini dibiarkan rusak terbelit ilalang dan tanaman merambat seperti yang saya lihat di kamp Galang 2. Ada sebuah papan petunjuk yang bertuliskan Gereja Protestan, tetapi gereja itu juga hanya menjadi reruntuhan. Dahulunya, ada dua bagian besar kamp pengungsi yang dinamakan Galang 1 dan Galang 2. Secara bercanda para pengungsi menyebut pekuburan Ngha Trang sebagai Galang 3. Kamp pengungsi ini dilengkapi dengan sarana rumah sakit dan sekolah dan youth center, atas bantuan UNHCR dan Pemerintah Indonesia. Para pengungsi Vietnam yang terdampar di pulau-pulau lain disatukan di Pulau Galang ini sambil menunggu proses repatriasi mereka ke negara-negara lain yang bersedia menerima mereka sebagai warga negaranya.
Banyak pahit getir kehidupan mereka pula selama di penampungan Pulau Galang. Ada banyak anak-anak yang kehilangan orangtuanya harus hidup seorang diri di kamp ini hanya tergantung pada kemurahan hati orang lain. Kebanyakan dari mereka harus bekerja mengolah tanah Pulau Galang untuk berkebun dan bertanam. Beberapa tangan-tangan kreatif membuat kerajinan dan suvenir yang dapat digunakan untuk mendapatkan penghasilan.
Pada akhirnya juga bukan saja repatriasi ke negara maju menjadi sulit karena proses penyaringan oleh UNHCR yang sangat ketat dan penolakan negara maju untuk tambahan penempatan pengungsi lagi. Negara terbanyak yang menerima mereka adalah Kanada, sebanyak 13 ribu orang di susul Australia sebanyak 7 ribu orang. Yang menjadi masalah tambahan adalah adanya gelombang pengungsi susulan jauh setelah usainya Perang Vietnam yang khusus bertujuan supaya dapat tinggal di negara maju. Mereka yang tidak lolos seleksi akhirnya malah menunggu kemungkinan untuk dipulangkan ke Vietnam. Banyak di antara mereka yang sungguh-sungguh takut untuk dikembalikan ke Vietnam melakukan bunuh diri sebagai tanda protes pada keputusan UNHCR untuk menutup kamp pengungsi pada tahun 1996 dan mengembalikan kereka yang tersisa ke Vietnam.
Dari catatan yang terbaca di museum, kamp pengungsi ini pernah menampung hingga 200 ribu orang. Dinding museum dipenuhi deretan pasfoto hitam putih yang bergambar para pengungsi yang memegang papan tulis kecil dengan nama mereka dituliskan dengan kapur tulis. Pada bulan Maret 2005 para mantan penghuni kamp pengungsi Galang dari seluruh dunia berkumpul kembali untuk melakukan napak tilas hidup mereka, mengenang sahabat dan kerabat yang tidak berhasil mencapai kehidupan dan kemerdekaan sebagai manusia.

immaculate-conception-mary.jpgmary-on-boat.jpgMelanjutkan perjalanan mengelilingi kamp Galang 2, saya justru menemukan 3 buah bis besar dan beberapa mobil kecil diparkir. Sebuah papan menunjuk pada kata ’Catholic Church’ Saya berjalan menuju arah yang ditunjuk, menyeberangi sebuah jembatan kayu. Di kejauhan memang terdapat banyak orang berjalan-jalan. Ini lokasi yang paling ramai hari ini, karena dari tadi saya jarang bertemu rombongan orang. Seusai jembatan ada gerbang dengan tulisan yang terkelupas ’Nha To Duc Ne Vo Nhiem’ dengan tambahan Bahasa Inggris di bawahnya ’Immaculate Conception Mary Church’. Gereja ternyata tertutup rimbunnya pepohonan. Semakin mendekat ternyata cukup ramai orang di sana. Ketika melongok ke dalam saya kaget, ternyata sedang berlangsung misa. Seorang di depan pintu menyapa, mempersilahkan masuk jika ingin mengikuti misa. Karena keterbatasan waktu sayangnya saya tidak bisa mengikuti misa, jadi saya malah bertanya kepadanya. Mereka adalah rombongan dari Batam, sedang melaksanakan ziarah di Galang. Sebagian sedang melakukan jalan salib di gereja lain. Karena dari tadi saya hanya melihat reruntuhan, saya menanyakan ada berapa gereja Katolik di pengungsian ini. Dia menjawab ada 4 termasuk dengan yang ini. Gereja Maria Dikandung Tanpa Noda ini masih sangat terawat, walaupun seperti halnya semua bangunan di kamp pengungsi ini, dibangun dengan struktur kayu. Di halaman ada patung perahu dengan Bunda Maria di atasnya. 

 church.jpg
mary-with-sail.jpgDalam perjalanan ke pintu keluar saya kembali menemukan sebuah papan penunjuk menuju Catholic Church dengan 2 bis yang sedang parkir. Ketika berjalan masuk terlihat beberapa kaum muda sedang melaksanakan jalan salib. Gereja ini bernama ’Ta On Duc Me’ yang sayangnya hanya tertinggal bagian yang mungkin dulunya menjadi bagian altar. Bangunan utamanya sudah tidak bersisa lagi. Di halaman terdapat patung Bunda Maria dengan layar terkembang di belakangnya. Para pengungsi Katolik yang selamat ternyata mendalami spiritualitas bahwa Bunda Maria telah mendampingi mereka kaum manusia perahu dalam harapan hidup yang paling kecil yang bahkan dipertaruhkan dalam keganasan lautan
selamat berkunjung ke pulau ini, semoga bisa menikmati keindahannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar